20 C
Maluku
Friday, April 26, 2024
spot_img

Perlukah ? Penghapusan Kelas I, 2 dan 3 dengan Kelas  Rawat Inap Standar (KRIS)  BPJS Kesehatan

Pemerintah berencana menghapus penggolongan BPJS Kesehatan berdasarkan kelas artinya kelas 1, 2 dan 3  yang saat ini berlaku akan hilang. Nantinya, golongan kelas BPJS Kesehatan akan diganti dengan kelas standar atau tunggal. Tak hanya untuk pelayanannya tapi juga tarifnya  menjadi satu jenis. tujuan kebijakan ini untuk memberikan pelayanan yang sama bagi seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan maksud agar semua orang, peserta, berhak untuk mendapatkan layanan, baik medis dan non medis yang sama

Dengan dihapusnya kelas peserta BPJS Kesehatan, maka tidak ada yang namanya kelas 1, 2, dan 3, intinya  kelas standar nanti hanya terdapat dua kelas kepesertaan program yakni kelas standar A dan kelas standar B. Kelas standar A yakni untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan kelas B untuk peserta non-PBI.  Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri akan tergolong sebagai non-PBI, dengan fasilitas berupa luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar akan berbeda. Di mana untuk kelas peserta PBI, minimal luas per tempat tidur sebesar 7,2 meter persegi dengan jumlah maksimal enam tempat tidur per ruangan. Sementara di kelas untuk peserta Non PBI, luas per tempat tidur sebesar 10 meter persegi dengan jumlah maksimal 4 tempat tidur per ruangan

Adapun kelas tunggal ini disebut sebagai kelas rawat inap standar (KRIS) atau kelas standar. Direncanakan implementasinya secara penuh di tahun 2024 mendatang. Namun pemerintah akan memberikan waktu sampai 2023, untuk  diimplementasikan secara bertahap di RSUD dan RS Swasta. Rumah sakit ini akan dipilih berdasarkan kriteria KRIS JKN.
meski baru full diterapkan dalam dua tahun mendatang, namun sejak saat ini proses peralihannya sudah dilakukan. Dimana, pada tahun ini yakni juli 2022 akan mulai dilakukan uji coba di beberapa rumah sakit pilihan.

Perihal tarif nantinya program JKN akan dikembangkan berdasarkan kajian kebutuhan dasar kesehatan (KDK). Penyusunan KDK harus memperhitungkan dan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, ketika kelas standar atau KRIS itu diterapkan, masyarakat dengan ekonomi rendah dapat mengakses  rincian kebutuhan dasar kesehatan yang akan digunakan sebagai basis dalam menentukan manfaat JKN ke depan. Konsep tersebut sudah dirumuskan dan bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, memelihara kesehatan, dan menghilangkan gangguan Kesehatan , sehingga pengembangan program jaminan sosial selaras dengan transformasi sistem jaminan sosial dengan harapan peran dari pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dalam proses pemeriksaan atau skrining kesehatan warga, perlu melakukan tindakan promotif dan preventif, sehingga anggaran BPJS Kesehatan dialokasikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Pelaksanaan KRIS JKN sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan, “Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Kemudian di pasal 23 ayat (4) dijelaskan bahwa dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.

Pemerintah kemudian juga menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Pasal 54A berbunyi, “Untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, menteri bersama kementerian/Lembaga  terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas kesehatan melakukan peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat bulan Desember 2022”.

Terkait rencana pelaksanaan KRIS JKN, masih sesuai dengan amanat  Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pasal 54B dan PP 47 Tahun 2021 pasal 84 huruf b yang menyatakan pelayanan rawat inap kelas standar diterapkan paling lambat 1 Januari 2023.

sejalan dengan perubahan itu timbul polemic perihal besaran tarif standar yang akan di kenakan.  Sebagaiamana di kutip dari CNBC Indonesia Salah satu Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, pernah mengusulkan agar besaran iuran BPJS Kesehatan, jika kelas standar diterapkan dengan nilai Rp 75.000. Karena dihitung berdasarkan aktuaria kelas 3 dan kelas 2. Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menghimbau agar pemerintah dan otoritas dalam menerapkan tarif iuran BPJS Kesehatan kelas standar harus mempertimbangkan kondisi finansial dan daya beli peserta mandiri. Ketua YLKI menjelaskan kelas standar secara harfiah memang merupakan amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), oleh karena itu pemerintah sebaiknya harus mempertimbangkan kemampuan para peserta mandiri atau Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) terutama yang Kelas III. Artinya tarif kelas standar BPJS Kesehatan harus bisa dijangkau untuk semua kalangan atau harus lebih murah  dengan harapan akan menjadikan tarif yang lebih rasional kepada masyarakat. Tapi, implikasinya ke kelompok menengah ada kenaikan.

Lebih lanjut  pemerintah untuk menetapkan sistem tarifnya harus ada kajian komprehensif yang memperhatikan semua kepentingan, semua stakeholder. Khususnya di kelas menengah ke bawah, terutama yang Kelas III, Seperti diketahui, sejak Januari 2021 iuran BPJS Kesehatan Kelas III peserta PBPU telah mengalami kenaikan. Iuran yang berlaku saat ini adalah sebesar Rp 42.000 per bulan, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000 per anggota. Sehingga peserta PBPU Kelas III BPJS Kesehatan harus membayar Rp 35.000 per bulan, naik Rp 9.500 dari sebelumnya hanya Rp 25.500 per bulan. Sementara untuk Kelas I Rp 150.000 per bulan dan Kelas II Rp 100.000 per bulan

Adapun bila mengalami keterlambatan atau tunggakan pembayaran, maka akan ada denda yang dikenakan. Besaran denda diatur dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 di mana denda yang dibebankan sebesar 5% dari biaya diagnosa awal pelayanan kesehatan rawat inap dikalikan jumlah bulan tunggakan. Itu pun jika dilihat dari jumlah kepesertaannya, berdasarkan data DJSN, Kelas III memiliki jumlah peserta yang tidak bisa dibilang sedikit, yakni sebanyak 23 juta orang atau tepatnya 23.126.007.

Apt. Hasbi Abe,S.Farm *Penulis merupakan ASN  Kab. Seram Bagian Barat, Mahasiswa  Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
21,600SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles